Senin, 28 Juli 2008

Raden Pangeran Papak dan Surak Ibra

"Surak Ibra" adalah salah satu kesenian yang berasal dari jawa barat, kesenian ini menurut catatan diciptakan oleh putra dari Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak bernama Raden Djajadiwangsa pada 1910. Raden Djajadiwangsa merupakan orang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut.
"Surak Ibra"
Pudarnya simbolisme perlawanan masyarakat Sunda sangat menentang berbagai bentuk penjajahan sejak dulu. Kerinduan atas kebebasan dan pembentukan pemerintahan sendiri telah muncul saat penindasan dari kaum kolonial semakin menjadi. Kesenian surak ibra adalah salah satu bentuk simbolisasi pemberontakan tersebut, meski sekarang nasib kesenian tradisional ini berada di ambang kepunahan. Seorang "bobodor" tengah dibopong oleh puluhan "pamunggu" dalam pertunjukan surak ibra yang digelar pada Kemilau Nusantara di Bandung, September 2005. Kesenian “buhun” asal Garut ini diciptakan R. Djajadiwangsa pada 1910 sebagai sindiran kepada penguasa Kolonial Belanda.
Semarak, gembira, dan kolosal adalah ciri khas pertunjukkan boboyongan atau surak ibra. Sepintas boboyongan nampak seperti penggalan momen penyambutan kemenangan seorang tokoh yang dibopong oleh sejumlah pendukungnya. Sedikitnya terdapat 40 hingga 50 orang yang harus terlibat dalam pagelarannya. Mereka berbagi posisi menjadi seorang bobodor, belasan nayaga (pemain musik), dan sisanya sebagai pamunggu. Bobodor adalah orang yang dielu-elukan, karena perannya yang diposisikan untuk selalu ngabodor (melucu). Bobodor dilempar-lemparkan ke udara oleh puluhan pamunggu (pemboyong) sembari bersorak (Sunda: surak).
Bobodor kerap melakukan gerakan gimnastik di atas boyongan. Belasan anggota nayaga masing-masing memegang alat musik seperti seperangkat dogdog (alat pukul menyerupai gendang), kendang, terompet, angklung, keprak awi, kohkol awi, dan goong kecil. Kesenian ini menurut catatan diciptakan oleh Raden Djajadiwangsa pada 1910.
Raden Djajadiwangsa merupakan seorang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut. Ia merupakan putra dari Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak, tokoh besar Wanaraja Garut. Seperti layaknya sang ayah, ia sangat menentang pendudukan Belanda. Tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat Cinunuk Wanaraja membuat ia tergerak untuk memobilisasi massa. Upaya itu tidak dilakukan melalui perlawnan frontal seperti yang dilakukan Haji Hasan Arief di Cimareme Banyuresmi. Melalui kesenian, masyarakat Cinunuk dipersatukan, menerapkan kaidah bergotong-royong sekaligus membuat simbolisasi pengangkatan seorang pemimpin dari kalangan sendiri.
Orang kepercayaan bernama Eson diposisikan pimpinan. Eson dan kawan-kawan kemudian menggabungkan pencak silat, tari, dan bodor. Eson pula yang kemudian menjadi bobodo. Kesenian ini kemudian dinamakan boboyongan Eson, atau sebagian orang menyebutnya dengan nama surak Eson. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan yang tak disengaja di luar masyarakat Cinunuk hingga namanya berubah menjadi surak ibra. Pertama kali surak ibra (baca: boboyongan) dipentaskan hanya di kalangan keturunan Raden Djajadiwangsa saja. Kesenian ini berkembang hingga ke luar wilayah Wanaraja.
Pada 1930, dipentaskan di Pendopo Kabupaten Garut dalam "Pesta Raja" menyambut hari pernikahan Ratu Juliana. Sebagai rasa terima kasih, pemerintah Belanda memberikan hadiah berupa sebuah koper dari kuningan serta selusin kaus oblong "cap kunci". Koper kuningan masih menjadi barang mewah saat itu. Sementara, beberapa potong kaus oblong "cap kunci" saat ini masih tersimpan apik di tangan keturunan Raden Djajadiwangsa di Cinunuk Wanaraja.
"Pemerintah Belanda saat itu tak menyadari bahwa sebenarnya kesenian surak ibra yang ditampilkan itu merupakan sindiran langsung kepada mereka. Kita jelas menginginkan pemerintahan sendiri dan mengangkat seorang pemimpin di antara kita," ucap Amoh Junaedi, saat ditemui di kediamannya di Kampung Dunguscili Desa Cipicung Kecamatan Banyuresmi Garut, Kamis (19/1).
Amoh merupakan generasi ketiga penerus kesenian buhun ini. Masyarakat Cinunuk secara tidak langsung dipersatukan lewat kesenian ini sejak pertama kali diciptakan. Setelah kemerdekaan, surak ibra selalu ditampilkan saat hari-hari besar. Pada tahun 1979 saat festival kesenian di Senayan Jakarta. Saat itu, rombongan surak ibra dari Cinunuk wanaraja ditetapkan sebagai juara kedua tingkat nasional, setelah Timor Timur.
6341749
Selain “versi” Cinunuk, surak ibra juga telah mendarah daging di masyarakat Cibatu. "Sampai sekarang saya juga tidak mengerti, mengapa surak ibra ada di Wanaraja? Padahal, surak ibra yang aslinya hanya ada di Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu Garut. Saya tahu persis itu," demikian keheranan Tasdik (73), warga Kampung Cipanasciloa Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu Garut. Tasdik yang lebih dikenal warga dengan nama Entas itu merupakan anak keenam dari sembilan saudara keturunan Ibra. Ibra sendiri adalah seorang tokoh dari Desa Kertajaya (dulu disebut Desa Cikoang) Cibatu. Dari namanya pulalah nama surak ibra berasal. Menurut pengakuan Tasdik, kesenian ini pertama kali diciptakan ayahnya, Ibra, pada saat memeriahkan pesta sunatannya. Ia adalah penerus ketiga kesenian surak ibra setelah Ibra (ayahnya) dan Witarma (kakak kandungnya). Kini Tasdik mendirikan sebuah kelompok "Ibra Taruna" atau berarti keturunan Ibra. Terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali memulai boboyongan ini, apakah Ibra atau Eson. Kemungkinan umur mereka saat itu sebaya dan sama-sama bersumber dari Cinunuk Wanaraja. Menurut Tasdik, ayahnya pernah memperistri salah seorang wanita dari Cinunuk Wanaraja meski hanya bertahan selama dua bulan saja. Jarak antara Cinunuk Wanaraja dengan Kertajaya Cibatu hanya terpisah sekira 10 kilometer.
Meski sama-sama melakukan boboyongan, surak ibra versi Kertajaya berbeda dengan surak ibra versi Cinunuk. Di Kertajaya, surak ibra lebih eksotis karena dilakukan oleh hampir seluruh warga desa secara massal, spontan, serta memiliki nuansa magis yang sangat kental. Belasan orang biasanya langsung tak sadarkan diri dan kerasukan, tak lama setelah dogdog ditabuh nayaga. Sementara di Cinunuk, sama sekali tak melibatkan unsur klenik. Alat musik yang dibawa masing-masing anggota nayaga surak ibra dari Kertajaya Cibatu lebih minimalis dibandingkan di Cinunuk, yakni hanya berupa empat dogdog dan kendang pencak lengkap dengan terompet. Persamaannya, irama musik yang dimainkan nayaga diiringi oleh sorak-sorai (surak) para peserta lainnya. Amoh mengakui penamaan surak ibra untuk kesenian yang dipimpinnya sebenarnya kurang tepat. Ia bahkan lebih memilih nama boboyongan eson atau surak eson daripada surak ibra.
Menurut Amoh, semuanya berawal pada 1979, saat kesenian boboyongan dari Cinunuk menjadi juara tingkat Jawa Barat. Seorang wartawan melakukan wawancara dengan salah satu anggota boboyongan. Salah satu pertanyaan jurnalis tersebut menanyakan tentang apakah ada kesenian boboyongan lain di Garut selain dari Cinunuk. Anggota boboyongan itu kemudian mengiyakan dan menyebutkan bahwa kesenian boboyongan lain itu bernama surak ibra dari Cibatu (Kertajaya). "Entah kenapa, dalam pemuatan koran itu kemudian disebut bahwa kita adalah kelompok kesenian surak ibra, bukan boboyongan," ucap Amoh. Akan tetapi, perbedaan persepsi kedua seni boboyongan itu rupanya bukan menjadi masalah besar bagi kedua kelompok tersebut. Esensi dari kedua kesenian buhun itu rupanya masih tetap sama, yakni merupakan bentuk perlawanan dan simbol pembentukan pemerintahan sendiri tanpa penindasan Belanda. Kepala Desa Kertajaya Cibatu, Sudjani (61), menangkap hal tersebut sebagai sebuah keanekaan dari sebuah kebudayaan Sunda. "Ieu (Kertajaya) mah aslina, itu mah kembangna." Satu permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan surak ibra saat ini adalah kelestariannya. Baik Amoh maupun Tasdik tak menjamin kelestarian surak ibra akan terus terjaga hingga beberapa generasi berikutnya. Meski mereka mengaku akan berupaya sekuat tenaga untuk menjaga surak ibra ini, keduanya sangsi pergerakan zaman tak akan melindas nilai-nilai tradisi mereka. (Deni Yudiawan)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

simkuring Raden DR Ir agus Bambang Laksana,,,,,,kadulur-dulur....sok cing garetol sholat......

Anonim mengatakan...

as salam mualaikum
nama saya deny riswandi, saya masih keturunan pangeran eyang papak , sok mulai ti ayeuna mah muntias urang babarengan ka dulur2 sadayana ngamakmur keun mesjid urang salarea shalat berjamaah di mesjid nu 5 waktu
wasalam...