Senin, 28 Juli 2008

SEJARAH KOTA GARUT

Kota Garut merupakan ibu-kota wilayah Priangan Timur yang terkenal dengan alamnya yang asri, pegunungan yang indah, hawanya sejuk-segar, tanahnya subur, penduduknya peramah dan alim. Pengaruh dari ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam, sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu Kiansantang penganut agama Islam yang pertama dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah kota Garut dapat ditelusuri dari hadirnya Kerajaan Zaman Hindu di Jawa Barat yang pertama, yaitu Tarumanegara (didirikan pada tahun 400). Kemudian muncul Kerajaan Galuh (1249-1333), Kerajaan Pajajaran (1333-1579) yang meliputi daerah Jawa Barat (Pasundan) dengan Rajanya yang terkenal yakni Prabu Siliwangi berkedudukan di Pakuan (Bogor). Berkembangnya Islam di pulau Jawa lambat laun memasuki kalangan Keraton, sehingga menjadi tanda pergantian zaman, dari Zaman Hindu ke Zaman Islam.
Putra Prabu Siliwangi yang bernama Kiansantang, terkenal gagah perkasa dan sebagai putera mahkota yang pertama memeluk agama Islam, telah menyebarkan agama Islam sampai ke daerah Garut. Tempat yang terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Garut disebut daerah Suci, makam Prabu Kiansantang berada di daerah Godog dilereng Gunung Karacak, sehingga beliau disebut dengan nama “Sunan Godog atau Sunan Rochmat”. Makam tersebut dianggap keramat, pada setiap bulan maulud banyak orang yang ber-ziarah.
Terdapat bekas tempat tinggal (Patilasan) Kiansantang pada saat menyebarkan agama Islam di daerah Garut selatan (di Gunung Nagara Desa Depok), yang dianggap sebagai keramat. Bahkan ada cerita karena kesaktiannya, maka rakyat yang tidak mau memeluk Agama Islam ditenung (disantet) dengan tongkatnya kemudian seketika menjadi Harimau, (alkisah dikabarkan mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, lari ke hutan yang disebut dengan Leuweung Sancang). Peninggalan Kiansantang yang saat ini masih ada yaitu : (1) Quran di Balubur Limbangan, (2) Keris (Duhung) di Cinunuk Hilir (Wanaraja), (3) Tongkat di Darmaraja, (4) Kandaga (Peti) di Godog.
Lahirnya Garut sebagai salah satu kota tempat penyebaran agama Islam, diawali dengan munculnya pesantren pada saat hadirnya Sjech Kamaludin keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon (1552-1570), sebagai Demang (Wedana) Timbanganten, mendapat julukan ÒSembah Dalem Sjaechuna TimbangantenÓ, beliau memberikan ajaran agama Islam .Kemudian murid-muridnya membuka pesantren di berbagai tempat di Garut.
Kabupaten Limbangan merupakan cikal-bakal lahirnya Kabupaten Garut, dijaman yang lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang gilang-gemilang, subur-makmur, aman dan tentram; maka Balubur Limbangan menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan keseimbangan di segala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang dilakukan oleh pemerintah Cirebon, Limbangan saat itu dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin.
Nama Limbangan berasal dari kata ÒImbanganÓ yang berarti memiliki kekuatan batin, pada abad dimana Islam sedang pesatnya mengalir ke setiap pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang bupati, sebagai wakil dari Syarif Hidayat (1552-1570). Awalnya pemegang kekuasaan limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaja diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I, yang lebih dikenal julukan Sunan Dalem Cipancar.
Mulai dari Raden Widjajakusumah ke-1 ini, Bupati Limbangan yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda (Dinas P dan K Kabupaten Garut : 1963) mengatakan Sepi Paling Suwung Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).
Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan hukuman mati.
Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.
Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.
Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau saudara.
Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran ÒLaa Ikrooha FiddiinÓ, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kiansantang Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.
Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan. Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam.
Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa Bupati Limbangan yang berkedudukan di Limbangan, yang terakhir adalah Bupati Raden A.A. Adiwidjaja.
Pada tahun 1812 di tetapkan bahwa kedudukan bupati di pindahkan ke daerah distrik Suci, di suatu kampung yang sunyi-senyap yaitu Garut. Semula Ibu Kota akan dipindahkan di daerah Karangpawitan, namun tidak memiliki sumber air sehingga tidak terpilih, maka tempat itu disebut pidayeuheun.
Sebagai lazimnya setiap nama tempat memiliki riwayat, begitupun Garut mempunyai riwayat sebagai berikut; Sebelum Garut menjadi tempat tinggal (perkampungan), orang yang menemukan tempat itu tertarik oleh tanahnya yang datar dan mempunyai pemandangan indah yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Ditengah-tengah dataran itu terdapat sebuah mata air yang merupakan telaga kecil tertutup oleh semak belukar yang berduri, dari mata air yang merupakan telaga kecil itu mengalir sebuah anak sungai kecil.
Pada saat orang yang menemukan telaga kecil itu akan mengambil air, tangan mereka tergores (kagarut) rerumputan hingga berdarah. Kemudian semak-belukar tersebut dinamainya Ki Garut. maka telaganyapun diberi nama Ci-Garut. Semak belukar tersebut secara bergotong-royong dibersihkan dan kemudian dibangun menjadi kota Kabupaten Limbangan yang baru.
Pembangunan perumahan, jalan-jalan dan segala fasilitas lainnya, selesai tanggal 1 April tahun 1813. Sejak itulah Kota Garut menjadi Kota Kabupaten. Bupati Garut yang pertama adalah Raden A.A. Adiwidjaja, yang kemudian mendapat julukan Dalem Cipeujeuh, karena dimakamkan di Cipeujeuh.
Adat-istiadat rakyat yang selalu hormat setia kepada kepala daerahnya mulai kepada Lurah (Kepala Desa) sampai kepada Bupati dengan mendapat sebutan : Juragan, Gamparan sampai Kangjeng, ditiru pula dalam hubungan antara buruh dan tuan-kuasa anderneming, mendapat panggilan Kangjeung Tuan Besar.
Majunya perusahaan Asing (perkebunan) memerlukan pegawai Indonesia rendah yang pandai membaca dan menulis (antara lain untuk menjadi mandor, Juru Tulis). Tahun 1872 didirikan sekolah yang lamanya tiga tahun, jumlah sekolah pada waktu itu hanya sedikit demikian pula muridnya. Rakyat lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan pesantren dari pada bersekolah.
Pada Tahun 1900 diadakan sekolah Kelas Satu yang lamanya lima tahun, Pada tahun 1907, Sekolah Kelas Satu menjadi enam tahun dan ditambah dengan pelajaran bahasa Belanda, Murid yang diterima masuk kesekolah Kelas Satu itu hanya keturunan kaum bangsawan saja. Untuk rakyat kebanyakan di adakan sekolah Kelas Dua lamanya empat tahun.Pada tahun 1914 sekolah Kelas Satu dirubah menjadi H.I.S., bahasa pengatarnya bahasa Belanda dan kepala sekolahnya orang Belanda, sedangkan untuk anak-anak Belanda sendiri didirikan sekolah Belanda.
Mengawali implementasi emansipasi perempuan dan kemitrasejajaran gender di Garut saat itu, isteri Bupati Garut Raden Ayu Lesminingrat mengikuti jejak Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada tahun 1910 tempatnya di halaman Kabupaten. Pada tanggal 31 Juni 1931 di Garut berdiri cabang PASI (Pasundan Istri). Usaha Pasi sejak berdirinya sebagai berikut ; (1) tahun1933 mendirikan Consuntatie Bereau, (2) tahun 1933 mendirikan Bank Pasi mendapat hak Badan Hukum tahun 1936, tahun 1936 mendirikan Badan Kematian dan Verbruik Cooperatie. Dalam aksi-aksi Pasi tidak ketinggalan, tahun 1934 mengadakan rapat umum menuntut supaya di Volksraad ada perwakilan perempuan. Tahun 1939 mengadakan rapat umum bersama-sama dengan Gapi bertempat di Gedung Taman Siswa Garut untuk menuntut Indonesia berparlemen.
Uraian tentang sejarah Garut tersebut menunjukkan bahwa Garut sebagai salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam telah menjadikan masyarakatnya terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam dan sebagai bekas pemerintahan jaman kerajaan pun, masyarakatnya masih menghargai dan membanggakan perbuatan terpuji yang telah dilakukan leluhurnya, seperti Prabu Kiansantang. Disamping itu aktifitas pemberdayaan perempuan tercermin dari realitas emansipasi perempuan dalam kegiatan organisasi Pasundan Istri yang diprakarsai ole istri Bupati Garut pada tahun 1910.

Raden Pangeran Papak dan Surak Ibra

"Surak Ibra" adalah salah satu kesenian yang berasal dari jawa barat, kesenian ini menurut catatan diciptakan oleh putra dari Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak bernama Raden Djajadiwangsa pada 1910. Raden Djajadiwangsa merupakan orang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut.
"Surak Ibra"
Pudarnya simbolisme perlawanan masyarakat Sunda sangat menentang berbagai bentuk penjajahan sejak dulu. Kerinduan atas kebebasan dan pembentukan pemerintahan sendiri telah muncul saat penindasan dari kaum kolonial semakin menjadi. Kesenian surak ibra adalah salah satu bentuk simbolisasi pemberontakan tersebut, meski sekarang nasib kesenian tradisional ini berada di ambang kepunahan. Seorang "bobodor" tengah dibopong oleh puluhan "pamunggu" dalam pertunjukan surak ibra yang digelar pada Kemilau Nusantara di Bandung, September 2005. Kesenian “buhun” asal Garut ini diciptakan R. Djajadiwangsa pada 1910 sebagai sindiran kepada penguasa Kolonial Belanda.
Semarak, gembira, dan kolosal adalah ciri khas pertunjukkan boboyongan atau surak ibra. Sepintas boboyongan nampak seperti penggalan momen penyambutan kemenangan seorang tokoh yang dibopong oleh sejumlah pendukungnya. Sedikitnya terdapat 40 hingga 50 orang yang harus terlibat dalam pagelarannya. Mereka berbagi posisi menjadi seorang bobodor, belasan nayaga (pemain musik), dan sisanya sebagai pamunggu. Bobodor adalah orang yang dielu-elukan, karena perannya yang diposisikan untuk selalu ngabodor (melucu). Bobodor dilempar-lemparkan ke udara oleh puluhan pamunggu (pemboyong) sembari bersorak (Sunda: surak).
Bobodor kerap melakukan gerakan gimnastik di atas boyongan. Belasan anggota nayaga masing-masing memegang alat musik seperti seperangkat dogdog (alat pukul menyerupai gendang), kendang, terompet, angklung, keprak awi, kohkol awi, dan goong kecil. Kesenian ini menurut catatan diciptakan oleh Raden Djajadiwangsa pada 1910.
Raden Djajadiwangsa merupakan seorang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut. Ia merupakan putra dari Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak, tokoh besar Wanaraja Garut. Seperti layaknya sang ayah, ia sangat menentang pendudukan Belanda. Tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat Cinunuk Wanaraja membuat ia tergerak untuk memobilisasi massa. Upaya itu tidak dilakukan melalui perlawnan frontal seperti yang dilakukan Haji Hasan Arief di Cimareme Banyuresmi. Melalui kesenian, masyarakat Cinunuk dipersatukan, menerapkan kaidah bergotong-royong sekaligus membuat simbolisasi pengangkatan seorang pemimpin dari kalangan sendiri.
Orang kepercayaan bernama Eson diposisikan pimpinan. Eson dan kawan-kawan kemudian menggabungkan pencak silat, tari, dan bodor. Eson pula yang kemudian menjadi bobodo. Kesenian ini kemudian dinamakan boboyongan Eson, atau sebagian orang menyebutnya dengan nama surak Eson. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan yang tak disengaja di luar masyarakat Cinunuk hingga namanya berubah menjadi surak ibra. Pertama kali surak ibra (baca: boboyongan) dipentaskan hanya di kalangan keturunan Raden Djajadiwangsa saja. Kesenian ini berkembang hingga ke luar wilayah Wanaraja.
Pada 1930, dipentaskan di Pendopo Kabupaten Garut dalam "Pesta Raja" menyambut hari pernikahan Ratu Juliana. Sebagai rasa terima kasih, pemerintah Belanda memberikan hadiah berupa sebuah koper dari kuningan serta selusin kaus oblong "cap kunci". Koper kuningan masih menjadi barang mewah saat itu. Sementara, beberapa potong kaus oblong "cap kunci" saat ini masih tersimpan apik di tangan keturunan Raden Djajadiwangsa di Cinunuk Wanaraja.
"Pemerintah Belanda saat itu tak menyadari bahwa sebenarnya kesenian surak ibra yang ditampilkan itu merupakan sindiran langsung kepada mereka. Kita jelas menginginkan pemerintahan sendiri dan mengangkat seorang pemimpin di antara kita," ucap Amoh Junaedi, saat ditemui di kediamannya di Kampung Dunguscili Desa Cipicung Kecamatan Banyuresmi Garut, Kamis (19/1).
Amoh merupakan generasi ketiga penerus kesenian buhun ini. Masyarakat Cinunuk secara tidak langsung dipersatukan lewat kesenian ini sejak pertama kali diciptakan. Setelah kemerdekaan, surak ibra selalu ditampilkan saat hari-hari besar. Pada tahun 1979 saat festival kesenian di Senayan Jakarta. Saat itu, rombongan surak ibra dari Cinunuk wanaraja ditetapkan sebagai juara kedua tingkat nasional, setelah Timor Timur.
6341749
Selain “versi” Cinunuk, surak ibra juga telah mendarah daging di masyarakat Cibatu. "Sampai sekarang saya juga tidak mengerti, mengapa surak ibra ada di Wanaraja? Padahal, surak ibra yang aslinya hanya ada di Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu Garut. Saya tahu persis itu," demikian keheranan Tasdik (73), warga Kampung Cipanasciloa Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu Garut. Tasdik yang lebih dikenal warga dengan nama Entas itu merupakan anak keenam dari sembilan saudara keturunan Ibra. Ibra sendiri adalah seorang tokoh dari Desa Kertajaya (dulu disebut Desa Cikoang) Cibatu. Dari namanya pulalah nama surak ibra berasal. Menurut pengakuan Tasdik, kesenian ini pertama kali diciptakan ayahnya, Ibra, pada saat memeriahkan pesta sunatannya. Ia adalah penerus ketiga kesenian surak ibra setelah Ibra (ayahnya) dan Witarma (kakak kandungnya). Kini Tasdik mendirikan sebuah kelompok "Ibra Taruna" atau berarti keturunan Ibra. Terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali memulai boboyongan ini, apakah Ibra atau Eson. Kemungkinan umur mereka saat itu sebaya dan sama-sama bersumber dari Cinunuk Wanaraja. Menurut Tasdik, ayahnya pernah memperistri salah seorang wanita dari Cinunuk Wanaraja meski hanya bertahan selama dua bulan saja. Jarak antara Cinunuk Wanaraja dengan Kertajaya Cibatu hanya terpisah sekira 10 kilometer.
Meski sama-sama melakukan boboyongan, surak ibra versi Kertajaya berbeda dengan surak ibra versi Cinunuk. Di Kertajaya, surak ibra lebih eksotis karena dilakukan oleh hampir seluruh warga desa secara massal, spontan, serta memiliki nuansa magis yang sangat kental. Belasan orang biasanya langsung tak sadarkan diri dan kerasukan, tak lama setelah dogdog ditabuh nayaga. Sementara di Cinunuk, sama sekali tak melibatkan unsur klenik. Alat musik yang dibawa masing-masing anggota nayaga surak ibra dari Kertajaya Cibatu lebih minimalis dibandingkan di Cinunuk, yakni hanya berupa empat dogdog dan kendang pencak lengkap dengan terompet. Persamaannya, irama musik yang dimainkan nayaga diiringi oleh sorak-sorai (surak) para peserta lainnya. Amoh mengakui penamaan surak ibra untuk kesenian yang dipimpinnya sebenarnya kurang tepat. Ia bahkan lebih memilih nama boboyongan eson atau surak eson daripada surak ibra.
Menurut Amoh, semuanya berawal pada 1979, saat kesenian boboyongan dari Cinunuk menjadi juara tingkat Jawa Barat. Seorang wartawan melakukan wawancara dengan salah satu anggota boboyongan. Salah satu pertanyaan jurnalis tersebut menanyakan tentang apakah ada kesenian boboyongan lain di Garut selain dari Cinunuk. Anggota boboyongan itu kemudian mengiyakan dan menyebutkan bahwa kesenian boboyongan lain itu bernama surak ibra dari Cibatu (Kertajaya). "Entah kenapa, dalam pemuatan koran itu kemudian disebut bahwa kita adalah kelompok kesenian surak ibra, bukan boboyongan," ucap Amoh. Akan tetapi, perbedaan persepsi kedua seni boboyongan itu rupanya bukan menjadi masalah besar bagi kedua kelompok tersebut. Esensi dari kedua kesenian buhun itu rupanya masih tetap sama, yakni merupakan bentuk perlawanan dan simbol pembentukan pemerintahan sendiri tanpa penindasan Belanda. Kepala Desa Kertajaya Cibatu, Sudjani (61), menangkap hal tersebut sebagai sebuah keanekaan dari sebuah kebudayaan Sunda. "Ieu (Kertajaya) mah aslina, itu mah kembangna." Satu permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan surak ibra saat ini adalah kelestariannya. Baik Amoh maupun Tasdik tak menjamin kelestarian surak ibra akan terus terjaga hingga beberapa generasi berikutnya. Meski mereka mengaku akan berupaya sekuat tenaga untuk menjaga surak ibra ini, keduanya sangsi pergerakan zaman tak akan melindas nilai-nilai tradisi mereka. (Deni Yudiawan)

Kamis, 24 Juli 2008

Makam Raden Pangeran Papak

Dalam sejarah sunda memang dikenal nama Pangeran Papak, nama asli beliau adalah Raden Wangsa Muhammad, penyebar agama Islam (dianggap juga salah seorang Wali) di daerah Garut. Makamnya terletak di Cinunuk Wanaraja. Menurut keturunannya, beliau meninggal tahun 1898. Lokasi makamnya bisa dijangkau sekitar 20 menit saja dari pusat kota Garut.
Foto: Makan Raden Pangeran Papak